Dr.Zubairi yang baik,
Saya seorang ibu rumah tangga berusia 30 tahun. Saat ini saya sedang takut sekali karena suami saya dinyatakan HIV positif. Kebetulan latar belakang pendidikan saya adalah di bidang kesehatan dan saya sering membuka internet. Dari informasi yang saya dapatkan ada yang agak membingungkan, yaitu bahwa hasil tes yang positif harus dikonfirmasi karena mungkin hasilnya negatif. Kemudian yang diperiksa adalah antibodinya. Yang ingin saya tanyakan apakah dari hasil yang ada sekarang suami saya benar-benar telah terkena HIV dan bagaimana caranya agar saya tidak tertular.
Sita, Jakarta
Ibu Sita yang baik,
Setiap tes mempunyai kelebihan dan keterbatasan, tidak terkecuali pula tes HIV. Karena itu setiap kali membaca hasil dari laboratorium, seorang dokter harus mempertimbangkan banyak hal sebelum memberikan kesimpulan kepada pasien. Sebenarnya masalah tes HIV ini pernah saya bahas berkaitan dengan pertanyaan mengenai darah donor pada rubrik ini tanggal 5 Nopember 2000.
Suami ibu dinyatakan positif dengan menggunakan tes penyaring yang menggunakan metode ELISA. Pada metode ini yang dideteksi adalah antibodi terhadap HIV, bukan mendeteksi keberadaan virusnya secara langsung. Untuk diketahui, bila seseorang terinfeksi HIV, maka antibodi baru terbentuk 3 bulan kemudian, ini yang disebut sebagai masa jendela. Jadi bila tes dilakukan pada masa jendela, maka tidak akan terdeteksi.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas uji saring darah, yaitu alat dan reagensia yang dipakai (kualitas, cara penyimpanan, cara transportasi) serta faktor manusia yang mengerjakan tes HIV. Masalah lain adalah “masa jendela” yang telah dibahas diatas.
Uji saring HIV menggunakan beberapa macam regensia yang berbeda. Hampir semua reagensia yang ada sekarang mempunyai tingkat keakuratan yang tinggi. Untuk menentukan tingkat keakuratan ini biasanya digunakan istilah sensitivitas dan spesifisitas. Tes yang sensitif adalah tes yang dapat memberikan hasil positif untuk semua sampel yang mengandung infeksi HIV. Jadi, tidak boleh ada darah yang mengandung HIV dinyatakan negatif (negatif palsu).
Tetapi mungkin juga ada darah yang tidak mengandung HIV, hasil pemeriksannya dinyatakan positif (positif palsu). Oleh karena itu tes juga harus mempunyai spesifisitas yang tinggi. Artinya, semua darah yang tidak mengandung HIV harus dapat dinyatakan negatif. Bingung?
Sebagai contoh, di Sub Bagian Hematologi Onkologi Medik kami mempunyai empat macam reagensia. Angka sensitifitas keempat reagensia tersebut 100%, artinya kalau ada darah yang mengandung HIV pasti ditemukan. Spesifitas reagensia berkisar antara 99,3% sampai 99,93%, artinya kemungkinan positif palsu hanya 0.7 sampai 0.07% (100% dikurangi 99,3% dan 99,93%). Angka ini terkesan sangat bagus karena mendekati 100%.
Namun bila tes diterapkan pada 10.000 orang, hasilnya mengagetkan: kemungkinan hasil positif palsu adalah 7 sampai 70 orang, yang tentu saja dapat menimbulkan ketakutan dan kepanikan buat yang bersangkutan. Berapa besarnya angka positif palsu sangat tergantung dari siapa yang diperiksa. Jika diperiksa pada masyarakat umum (risiko rendah) banyaknya hasil positif palsu akan lebih tinggi dibandingkan jika diperiksa pada golongan risiko tinggi.
Misalnya, pada calon pendonor darah yang berasal dari masyarakat umum dimana prevalensi masyarakat umum terinfeksi HIV adalah 0,01%. Maka bila kita memeriksa 10.000 orang calon donor darah di Indonesia, hasilnya sebagai berikut. Kita akan mendapatkan 1 yang benar-benar positif (0,01% kali 10.000), sesuai dengan prevalensi. Akan didapatkan pula yang positif palsu 0.07% x 10.000 = 7, artinya ada 7 orang yang positif tes-nya, tetapi sebetulnya negatif, tidak mengandung antibodi dan virus HIV.
Jadi dari 10.000 darah yang diperiksa, 8 positif, namun yang benar-benar positif hanya 1. Atau, dengan perkataan lain nilai prediksi tes HIV memakai reagensia merk diatas (dengan kualitas terbaik) hanya 1 / 8 kali 100%, hanya 12.5%. Jadi, setiap kali ada hasil positif, kemungkinan bahwa benar-benar positif hanya 12.5%.
Angka prediksi ini akan berbeda jika pemeriksaan dilakukan pada pecandu narkotika, misalnya. Prevalensi HIV di kalangan remaja pemakai narkotika ini sekitar 30%, dan mungkin akan terus meningkat. Jadi bila diperiksa 10.000 pecandu, akan didapatkan yang benar-benar positif sebesar 3000 kasus (30% kali 10.000) dan yang positif palsu 7 orang. Maka nilai prediksi hasil tes tersebut benar-benar positif adalah 3000 per 3007 kali 100%, yaitu 99.77%.
Untuk itu maka setiap uji penyaring HIV yang positif dinyatakan dengan istilah “reaktif” , bukan “positif” dan perlu dikonfirmasi dengan uji ulang. Untuk negara berkembang, WHO mensyaratkan untuk menyatakan seseorang terinfeksi HIV maka harus ada 3 hasil positif dari 3 pemeriksaan ELISA dengan kit yang berbeda (reagensia, prinsip pengerjaan, atau antigennya berbeda).
Jika masih ragu mengambil kesimpulan maka harus dilakukan pemeriksaan dengan metode lain. Untuk memastikan apakah benar-benar ada antibodi terhadap HIV maka dapat dilakukan pemeriksaan Western Blot.
Atau dapat juga dilakukan tes untuk mendeteksi keberadaan virus dalam darah secara langsung baik secara kualitatif (ada atau tidak virus dalam darah) atau kuantitatif (jumlah virus dalam darah) yaitu dengan metode PCR (Polymerase Chain Reaction). Sayangnya pemeriksaan ini cukup mahal dan baru dapat dilakukan di RS Ciptomangunkusumo .
Semoga uraian tadi dapat memperjelas pemahaman ibu mengenai tes HIV. Mengenai hasil tes suami ibu, biasanya laboratorium baru akan mengeluarkan hasil positif bila telah dilakukan konfirmasi dengan 3 macam tes penyaring atau konfirmasi dengan Western Blot.
Untuk mengurangi risiko tertular maka setiap kali melakukan hubungan suami-istri , suami Ibu Sita harus memakai kondom. Saya anjurkan Ibu Sita juga melakukan tes HIV, agar dapat diketahui dengan pasti apakah ibu tertular atau tidak. Hal ini penting untuk penanganan selanjutnya termasuk pengobatannya. Pengobatan infeksi HIV sekarang telah mencapai banyak kemajuan. Penggunaan kombinasi obat-obat antiretroviral (anti virus HIV) saat ini telah memberi hasil yang menggembirakan, dimana pertumbuhan virus bisa ditekan sehingga orang dengan HIV dapat hidup tanpa gejala untuk waktu yang lama.
Jika masih kurang jelas, Ibu Sita dapat mencari informasi lebih lanjut di Kelompok Studi Khusus (Pokdisus) AIDS FKUI/RSCM Telp. 3905250.
Dr.Zubairi yg Budiman,
Nama panggilan saya QQ, saya ingin menanyakan beberapa hal. Sekitar 2 tahun yang lalu saya mempunyai saudara laki2 yang menurut Dokter lokal di Purwokerto terkena HIV-dalam masa Jendela. Namun saudara saya itu juga seorang yang gemar minum minuman keras dan seorang pecandu drugs. Dia dirawat selama 3 x di RS lokal setempat, dan menurut saudara2 saya penyebab kematiannya adalah karena rusaknya paru2 dan lambung dia akibat minuman keras.
Mendengar hal ini setelah 2 tahun setelah dia meninggal dan mengidap masa Jendela HIV saya jadi terhenyak,, pasalnya semasa masih kuliah dulu saya sering bertukar pakaian, alat makan, alat cukur, “join rokok”, dan pernah satu kali saya memakai sikat giginya.
Untuk itu saya mohon beri penjelasan Dr. mengenai tiap resiko tertular dari Variabel diatas.
Sebelumnya saya ucapkan banyak Terima Kasih.
JAWAB
Sering bertukar pakaian, alat makan dan “join rokok” tidak menularkan HIV. Risiko penularan melalui sikat gigi dan alat cukur, kemungkinan penularan HIV amat rendah. Tes HIV untuk anda ada manfaatnya, walaupun kemungkinan besar anda tidak tertular
Masa jendela, berarti tes HIV negatif, padahal mungkin ada infeksi HIV: artinya saudara lakilaki anda belum tentu terinfeksi HIV, karena tes antibodi negatif, mungkin pada masa jendela. Meninggal karena sebab lain.
Katakanlah saudara anda terinfeksi HIV, maka penyakit ini tidak ditularkan melalui bertukar pakaian, alat makan, “join rokok”, dan sikat giginya. Adapun alat cukur ada kemungkinan menularkan, tetapi tidak terlalu efisien.
Untuk kepastian, mengapa anda tidak tes HIV saja sekarang ini. Bila masih belum jelas, hubungi konselor HIV di kota anda di rumah sakit umum pusat misalnya.
ZD
dok saya mau nanya resiko penularan hiv melalui alat2 kedokteran.saya setahun yg lalu pernah melakukan operasi pengangkatan kutil ditangan saya di klinik dokter kulit. Saya liat dokter tsb memakai alat dgn jarum yg lumayan besar.sptnya jarum itu dipakai utk beberapa pasien jg.tp kt dokternya pemanasan pd jarum itu akan menghancurkan virus2 yg ada. Yg saya ingin tanyakan benarkah itu dok? Dan apakah virus hiv bs jg menempel pd ujung obat salepnya?dan jika bekas kapas yg sdh tercemar darah hiv tdk sengaja bersentuhan dgn kapas yg baru dan jika kapas baru itu dipakaikan k saya apa saya bs tertular hiv? Makasih dok penjelasannya…
Sdr Bella,
Sampai 2009, yang tercatat di Pusat Layanan Terpadu HIV RSCM, Jakarta, ada lebih dari 300 tenaga kesehatan yang tertusuk jarum atau pisau sewaktu membantu odha (orang dengan HIV/AIDS), menyuntik, operasi, punksi pleura, kecipratan darah odha di mata dan mukosa mulut dsb. Alhamdulillah sampai sekarang belum ada satupun yang tertular HIV. Artinya risiko penularan HIV melalui alat kedokteran, pada kenyataannya kecil sekali.
Tentu kita tidak boleh sembrono. Risiko tertular HIV tetap ada walaupun risiko kecil, hanya sekitar 2-3 per 1000.
Mengenai pemanasan instrument kesehatan, tentu tidak cukup untuk membuatnya steril. Pertama rendam alat semalam, kemudian bersihkan darah yang menempel, kemudian baru disterilkan, baik dg otoklaf, maupun cara lain
Zubairi djoerban